Selasa, 12 Juli 2011

Kisah Panglima Papan Nama

 


Kasus penyelesaian masalah Aceh diduga menjadi titik perbedaan antara
Presiden Yudhoyonodan Jenderal Ryamizard.

Oleh Selamat Ginting

Selasa, 26 Oktober 2004 menjadi hari penting bagi TNI. Saat itu, presiden terpilih hasil Pemilu Presiden 2004, Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan surat dengan nomor R 41/-Pres/X/2004.
Surat kepada pimpinan DPR itu, isinya keputusan Presiden Yudhoyono menarik surat Presiden Megawati Soekarnoputri tentang pemberhentian dan pengangkatan panglima TNI.
Dalam suratnya, Presiden Yudhoyono beralasan dia belum berencana mengganti Jenderal Endriartono dari jabatannya sebagai panglima TNI dalam waktu dekat. "Keputusan ini tidak terkait dengan persoalan pribadi, baik dengan Endriartono maupun Ryamizard," ujar Yudhoyono dalam surat tersebut.
Sebelumnya, Megawati di akhir masa jabatannya sebagai presiden telah berkirim surat dengan nomor R32/Pres/X/-2004 kepada DPR tentang pemberhentian dan pengangkatan panglima TNI.
Megawati melalui suratnya itu meminta persetujuan DPR atas pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto sebagai panglima TNI dan mengajukan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudusebagai penggantinya.
Alasan Megawati mengajukan Ryamizard di ujung masa jabatannya sebagai presiden, karena dua kepala staf TNI lainnya KSAL Laksamana Bernard Ken Sondakh dan KSAU Marsekal Chappy Hakim, sudah memasuki masa pensiun. Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sudah dua kali mengajukan pensiun.
Megawati merasa tidak melakukan kesalahan dengan mengambil kebijakan pergantian Panglima TNI. DPR pun sempat memproses dan menyetujui Ryamizard menjadi Panglima TNI.
Dalam rapat paripurna pertamanya pada 15 Oktober 2004, DPR secara aklamasi menerima surat Megawati. Selanjutnya, meneruskan ke Komisi I yang membidangi masalah pertahanan untuk pembahasan lebih lanjut di DPR.
Surat Presiden Yudhoyono itu mendapatkan reaksi keras dari sebagian kalangan di DPR. Mereka menilai SBY melakukan langkah yang tidak semestinya karena membatalkan surat Presiden Megawati kepada pimpinan DPR. Apalagi, surat Presiden Megawati merupakan jawaban dari surat permintaan pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto.
Komisi I DPR pun terlanjur telah mengagendakan mengundang calon Panglima TNI Jenderal Ryamizard Ryacudu untuk menyampaikan visi dan misinya sebagai calon panglima TNI pada 4 November 2004.
Saat itu, Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga mengatakan, proses tersebut telah sesuai dengan Tata Tertib Pasal 152 dan 153 DPR, bahwa dalam pengangkatan pejabat publik yang membutuhkan persetujuan DPR dilakukan fit and proper test oleh komisi terkait.
Keriuhan politik itu sampai pada suatu titik panas. KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu tidak hadir untuk menjalani proses uji kelayakan sebagai panglima TNI pada 8 November 2004. Padahal, papan nama Ryamizard sudah terpampang di ruangan Komisi I DPR.
DPR berang, mereka melayangkan surat kepada Presiden Yudhoyono meminta hak interpelasi. Presiden Yudhoyono pun ke DPR, dan tercapai kesepakatan bahwa Presiden akan segera mengajukan nama calon panglima TNI lagi ke Senayan. Berembus kabar burung kemungkinan Jenderal Ryamizard akan diajukan kembali!
Empat bulan setelah itu, pada Februari 2005, Mabes TNI mengajukan kembali nama Ryamizard dalam satu paket dengan rencana pergantian tiga kepala staf angkatan kepada presiden. Sebagai orang paling senior di antara ketiga kepala staf angkatan itu, Ryamizard dianggap lebih berpeluang diajukan.
Sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, meng-, haruskan Presiden mengajukan satu nama panglima TNI ke DPR untuk disetujui.
Tapi apa lacur, Presiden Yudhoyono malah memperpanjang masa jabatan Endriartono sebagai panglima TNI hingga akhir 2005. Namun, ia mengganti tiga kepala staf angkatan, termasuk Ryamizard. Dalam Keppres No 6/TNI/2005 yang ditandatangani pada 16 Februari 2005, Presiden Yudhoyono memberhentikan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAL Laksamana Bernard Ken Sondakh, dan KSAU Marsekal Chappy Hakim.
Presiden juga langsung mengangkat pejabat baru, yaitu Wakil KSAD Letjen Djoko Santoso sebagai KSAD, Laksamana Madya Slamet Subianto sebagai KSAL yang sebelumnya menjabat wakil gubernur Lemhanas, dan Marsekal Madya Djoko Suyanto sebagai KSAU yang sebelumnya menjabat asisten operasi KSAU.
Beda pendapat
Berkembang spekulasi bahwa Yudhoyono sengaja mengulur waktu untuk menghindari Ryamizard menjadipanglima TNI. Apalagi, ketika itu umur Ryamizard sudah menjelang usia pensiun, yakni 56 tahun.
Pada 5 September 2005, Ketua DPR Agung Laksono mengirim surat kepada Presiden SBY untuk mengingatkan janji presiden yang menyanggupi segera mengajukan calon panglima TNI menggantikan Jenderal Endriartono yang telah empat kali mengajukan permohonan pengunduran diri dari jabatan panglima. Janji itu disampaikan presiden ketika mencabut surat pengajuan Jenderal Ryamizard Ryacudu yang dikirim Presiden Megawati Soekamoputri pada DPR.
Sepekan kemudian, presiden membalas surat tersebut. Dalam suratnya, presiden menjelaskan bahwa Jenderal Endriartono Sutarto masih diperlukan tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan konflik di Nanggroe Aceh Darussalam secara damai, adil, dan bermartabat.
"Terutama untuk menyukseskan penyerahan dan pemusnahan senjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dimulai 15 September hingga 31 Desember 2005, seperti kesepakatan MoU antara RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005," kata Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra.
Yusril menegaskan, dengan surat presiden yang dikirimkan ke DPR, Jenderal Endriartono tetap memegang jabatannya. Dengan mempertimbangkan masa penyerahan senjata GAM yang baru berakhir 31 Desember 2005, terang Yusril, panglima TNI mungkin tidak akan diganti hingga 2006.
Fraksi PDIP mempertanyakan sikap SBY yang memutuskan penggantian panglima TNI pada 2006. Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo berpendapat, SBY terkesan tidak mau mengajukan Jenderal Ryamizard Ryacudu karena Amerika Serikat mungkin tidak menghendakinya.
Timbul kesan tidak ada kaderisasi di TNI. Padahal, usia pensiun Jenderal Endriartono sudah berkali-kali diperpanjang. Selain itu, Endriartono sudah dua kali mengajukan pengunduran diri. "Kesannya, TNI tidak ada kaderisasi, dianggap tidak ada yang mampu selain Jenderal Endriartono Sutarto," tegasnya.
FPDIP juga mengkritik jawaban SBY ke DPR yang menyebut Endriartono dipertahankan demi kelangsungan perdamaian di Aceh. "Menurut saya, yang mengamankan Aceh adalah TNI, bukan Jenderal Sutarto," ucapnya.
Kuat dugaan ada perbedaan visi dan misi antara Presiden Yudhoyono dan Ryamizard soal penanganan kasus GAM. Ryamizard dianggap tidak sependapat dengan cara perundingan Helsinki. Inilah titik krusialnya sehingga Ryamizard tidak diangkat menjadi panglima TNI.
Yudhoyono juga tidak ingin kandidat panglima TNI pilihan Presiden Megawati, apalagi dilakukan pada masa transisi pergantian presiden. Alasan lain, Yudhoyono ingin menggilir posisi panglima TNI ke matra udara yang belum berkesempatan menjadi panglima TNI di era modern ini. Komposisinya matra darat-matra laut-matra darat-matra udara. Matra darat lebih diutamakan karena jumlah personelnya jauh lebih banyak daripada matra laut dan udara.
Kandidat panglima TNI pengganti Endriartono pada 2006 pun menjadi empat orang, yakni KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAL Laksamana Slamet Soebijanto, KSAU Marsekal Djoko Suyanto, dan mantan KSAD Jenderal Ryamizard.
Akhir drama benar-benar terjadi ketika Presiden Yudhoyono mengumumkan nama Marsekal Djoko Suyanto menjadi satu-satunya calon panglima TNI pengganti Jenderal Endriartono Sutarto. Pada awal Februari 2006, selama dua hari Djoko Suyanto mengikuti fit and proper test di Komisi I DPR. Hasilnya, DPR menyetujui secara aklamasi Djoko Suyanto menjadi panglima TNI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar